Menyongsong Imlek 3 Februari 2011
____________________________________________________________________________________________________________________________
Membangun Indonesia Bersama Tionghoa
Oleh Adrian Jourdan Muslim
Peminat Budaya dan Sosial
Warga Tionghoa di seluruh dunia mudah dikenali. Kulit mereka laksana pualam yang indah mengkilap sekaligus elok ditatap. Gadis-gadis Tionghoa yang berbaur dengan pribumi jelas punya pesona memukau.
Ciri paling menonjol sebenarnya bukan kulit, tetapi, tipenya yang giat bekerja alias keras hati. Hingga, Tionghoa identik dengan kesuksesan. Derajat ekonomi mereka yang makmur kemudian dituding sebagai jurang pemisah dengan bumiputra. Orang lokal menilai masyarakat Tionghoa terkesan eksklusif. Sementara insan Tionghoa tidak merasa menjauhi penduduk asli.
Pada esensinya, eksklusivisme bukan milik suatu rumpun saja. Semua etnis sebenarnya bersifat eksklusif. Tionghoa dituduh eksklusif karena mereka minoritas. Kalau suku Bugis tinggal di Shenzhen atau Hongkong, pasti mereka dituding pula eksklusif. Maklum, dominasi Tionghoa yang mayoritas memandangnya sebagai kelompok kecil. Teori hegemoni berbunyi bahwa budaya tuan rumah dominan terhadap kultur imigran.
Eksklusivisme muncul akibat perbedaan tradisi serta perspektif. Budaya Jawa dengan Batak tentu berbeda. Perbedaan itu yang sebetulnya melatarbelakangi sifat khas suatu komunitas. Kelompok mayoritas yang lazim dengan tata sosialnya lantas merasa aneh dengan kalangan minoritas. Di Indonesia, warga Tionghoa bukan cuma dituduh eksklusif. Mereka juga menjadi korban sepanjang zaman. Tionghoa terepresentasikan sebagai kelompok yang teralienasi.
Tumbal Perubahan
Di Indonesia, puak Tionghoa menguasai ekonomi. Mereka cakap berpartisipasi dengan siapa saja penguasa. Bisnis mereka dari hulu sampai hilir.
Di masa Orde Baru, taipan Tionghoa dituding merusak koperasi yang menjadi soko guru ekonomi. Monopolisme berkembang. Deretan raja bisnis dikuasai Tionghoa. Selebihnya oleh anak-anak pejabat.
Tionghoa dianggap pintar mengelola duit. Dengan ketekunan luar biasa, mereka akhirnya menjadi penguasa ekonomi. Komunitas Tionghoa di tempat perantauan menempati posisi tinggi dalam kelas sosial masyarakat.
Kejayaan Tionghoa rupanya kerap menjadi sasaran amuk massa. Mereka sering ditimpa diskriminasi ras. Penindasan berbasis keturunan membuat nyawa rumpun Tionghoa terkadang melayang sia-sia. Padahal, huru-hara tersebut tak berkelindan dengan diri mereka.
Di era kolonial Hindia Belanda tertoreh jika wangsa minoritas Tionghoa dibatasi gerak-geriknya. Belanda cemas terhadap posisi Tionghoa. Mereka risau dengan pengaruh Tionghoa terhadap daerah pendudukan. Padahal, kontribusi Tionghoa sebagai pegawai berhasil meningkatkan perekonomian Belanda.
Syahdan, Gubernur Jenderal VOC ke-24 (1737-1741) Adriaan Valckenier melancarkan provokasi di kalangan pribumi di wilayah Hindia Timur Belanda (Indonesia). VOC mengorganisasi Indo-Eropa bersama bumiputra untuk membunuh Tionghoa di Batavia (Jakarta). Pada 9-10 Oktober 1740, sejumlah 10 ribu Tionghoa mati dibantai.
Kerajaan Belanda akhirnya mengendus pembunuhan itu. Sesudah meletakkan jabatan, Valckenier buron ke Afrika Selatan. Ia kemudian tertangkap. Di Batavia, Valckenier dimasukkan ke sel. Setelah hampir 10 tahun mendekam, ia pun mati.
Pembantaian oleh ulah Valckenier ternyata tidak ada kaitannya dengan warga Tionghoa. Pembunuhan tersebut dirancang buat mengalihkan perhatian dari intrik dan korupsi di jajaran pejabat lokal VOC. Sejak peristiwa kelam itu, Tionghoa pun terus menjadi sasaran empuk keberingasan massa. Perubahan politik serta proses suksesi seolah menetapkan Tionghoa sebagai tumbal.
Kapitan China
Pasca-pembantaian, turun kebijakan wijkenstelsel. Aturan tersebut menciptakan pemukiman khusus untuk Tionghoa alias Pecinan (Chinatown). Mereka diimbau pula menggunakan passenstelsel (surat jalan) bila bepergian di antara distrik-distrik China. Di tiap Pecinan, mereka berada dalam naungan administrasi opsir Tionghoa dari kalangan konglomerat mereka sendiri. Selain itu, juga ada Kapitan China yang merupakan pegawai pemerintahan kolonial Belanda. Kapitan China menjadi bagian integral dari sistem administrasi Belanda.
Tionghoa berimigrasi ke Indonesia sejak lama. Alkisah, Sunan Ampel dan Sunan Bonang diduga kuat berdarah Tiongkok Selatan. Keduanya berasal dari Campa. Raden Patah yang menjadi raja pertama kerajaan Islam di Jawa ditengarai seorang Tionghoa. Ia adik seibu dengan Raden Kusen (Husein) yang merupakan Raja Demak.
Pada abad 19, etnis Tionghoa makin ramai. Harap dipahami bahwa Tionghoa yang datang sesungguhnya mozaik (beragam), bukan homogen (serupa). Sama halnya dengan TKI yang ke Malaysia atau negara-negara Arab. TKI bemacam suku. Ada puak dari Sumatera, Jawa, Kalimantan atau Sulawesi. Mereka punya adat istiadat tersendiri.
Belanda yang tiba dengan superioritas perdagangan di Indonesia lalu menerapkan sistem apartheid terhadap penduduk berdasarkan ras serta agama.
Belanda mengklasifikasi masyarakat. Orang Eropa berada di atas. Di tengah adalah individu Timur Asing seperti Arab, India dan Tionghoa. Sedangkan kelas bawah ialah penghuni asli.
Rumpun Arab dengan pribumi tak memiliki masalah serius dalam asimilasi. Sebab, mereka terikat oleh faktor kesamaan agama. Problem justru ruwet tatkala Tionghoa berbaur dengan anak negeri. Mereka sama-sama asing satu dengan yang lain. Tiada yang mengikat mereka sebagai sebuah masyarakat. Agama serta tradisi masing-masing teramat berbeda.
Kodrat Lokal
Dewasa ini, Tionghoa memerlukan legitimasi final sebagai penduduk yang tidak terpisahkan dari aneka wangsa di Nusantara. Tionghoa merasa sebagai bangsa Indonesia. Apalagi, generasi mereka lahir dan wafat di Nusantara. Di sisi lain, Tionghoa merasa asing. Pasalnya, secara administratif, mereka merasa bukan bagian dari masyarakat Indonesia.
Di zaman sekarang, kita dituntut saling terbuka. Maukah bumiputra berteman dengan Tionghoa. Relakah Tionghoa bersahabat dengan pribumi. Terbersitkah untuk saling bekerja sama secara jujur. Sudikah kedua pihak bersosialisasi secara terbuka sebagai bangsa Indonesia.
Tahun Kelinci 2562 ini merupakan momentum untuk saling mengedepankan niat baik. Saling berkontribusi dalam pembangunan. Imlek mesti menggugah kita untuk saling introspeksi. Mari mengubur disharmoni antara bumiputra dengan Tionghoa. Ayo membuang sifat diskriminasi.
Indonesia butuh inovasi dari segenap anak bangsa. Pribumi, Tionghoa bersama naturalisasi harus bergandeng tangan berjalan seiring dalam derap langkah yang seragam guna membangun negeri ini.
Mono-etnis mustahil direalisasikan. Identitas kecinaan muskil dihapus. Tiap kelompok punya kodrat lokal serta nasional. Tiada ikhtiar yang bisa meluluhkan potret lokal seseorang. Bugis tetap Bugis, Papua tetap Papua.
Upaya yang mesti dirintis tiada lain kesadaran komunal yang murni. Alhasil, tiap suku dapat sederajat dalam konteks keindonesiaan. Dengan demikian, tiap puak seolah pasak pada sebuah bahtera bernama Indonesia.
Segala keunggulan tiap rumpun mutlak didayagunakan. Seluruh kelebihan harus bersatu-padu demi mempersembahkan kejayaan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar