Winning Eleven 2000
Oleh Adrian Jourdan Muslim
Menjelang pergantian milenium dari kedua ke ketiga, saya memperoleh hadiah PlayStation (Pureisuteshon). Kehadiran konsol permainan grafis tersebut membuat suasana lebih riuh
Di tahun 2000 itu, saya masih esde kelas dua. Mainan merupakan dunia sehari-hari. PlayStation sebagai barang mewah menjadi mainan favorit. Usai santap siang sepulang sekolah, maka, PSX langsung dimainkan. Sebagaimana kebanyakan teman-teman, saya sering pula memainkan video game sepak bola Winning Eleven alias (Pro Evolution Soccer). Beberapa versi Winning Eleven hasil modifikasi cracker Melayu, saya koleksi.
Dari interaksi dengan Winning Eleven, saya mulai tahu lebih jauh permainan sepak bola. Offside, misalnya, saya paham sesudah bermain game sport paling populer sejagat tersebut. Sebelumnya perangkap offside tak saya kenal. Kalau bermain bola di lapangan, kami cuma menendang secara terus-menerus untuk membobol gawang lawan. Apakah saat itu pencetak gol berada pada posisi offside atau tidak, jelas bukan masalah. Kami hanya mau mencetak gol sekaligus menang. Hingga, dapat menjadi obrolan di sekolah pada besok hari.
Winning Eleven mengajarkan bahwa sepak bola dilandasi aturan. Pemain tak boleh seenaknya menendang bola. Apalagi menendang pemain. Wasit yang tidak bisa dipantau kehadirannya pasti menghadiahi kartu kuning atau merah.
Sepak bola bukan sekedar permainan untuk menang. Olahraga tersebut juga mengenai keseimbangan. Contohnya antara lain keseimbangan antar-lini agar dapat mendominasi lawan. Tak boleh egois dengan cara membombardir gawang lawan. Tatkala terjepit, segera umpan ke pemain yang berdiri bebas. Bila dalam posisi sempit lantas nekat menendang, mungkin hasilnya tidak berbuah gol.
Winning Eleven mencuatkan pula tentang kerja sama tim. Aspek ini selaras dengan sepak bola modern yang menekankan kerja sama antara segenap pemain. Klub yang paling kentara dalam kerja sama tim tentu saja Manchester United besutan Sir Alex Ferguson. Di Piala Dunia Afrika Selatan, kerja sama tim juga hangat didiskusikan. Tanpa kerja sama antar-pemain, berarti hasil sia-sia diperoleh. Inggris, umpamanya, repot melaju gara-gara terjadi persaingan antara Steven Gerrard dengan Frank Lampard. Keduanya tak sehati, tetapi, saling bersaing untuk menunjukkan kepiawaian. Akibatnya, bukan kegemilangan yang diraih. Inggris justru terjungkal sebagai pecundang.
Selama bergelut dengan Winning Eleven, saya merasa jika game sport itu mendiktekan bagaimana menjelma sebagai team player. Winning Eleven seolah menuntut kita seperti Mesut Oezil yang menjadi serdadu Real Madrid. Oezil bukan Christiano Ronaldo, namun, penyeimbang yang menekankan kerja sama tim.
Struktur menarik yang bisa pula dipetik dari Winning Eleven ialah tidak mengumbar emosi. Video game tersebut mencuci otak kita supaya jangan bersikap temperamental. Sebab, sangat riskan bagi seorang pemain yang mengedepankan naluri negatif. Bukan cuma kartu merah yang diperoleh, tetapi, kekalahan tragis pasti mendekap. Di South Afrika 2010, Brasil kalah secara memalukan di tangan Belanda. Irama permainan mereka kacau lantaran gol Wesley Sneijder. Jogo bonito (permainan indah) mereka tenggelam akibat emosi pemain yang tertekan oleh taktik Belanda. Felipe Melo mendadak bermain brutal dengan menginjak paha Arjen Robben. Kartu merah untuk Melo menjadi puncak petaka bagi Brasil. Emosi telah merusak permainan tim Samba seraya menahbiskan Melo sebagai Man of the Match (in a bad way).
Selama berkutat dengan Winning Eleven, saya akhirnya membuat Tim Dunia Sepanjang Masa. Skuad dengan pola 2 4 4 (bukan 4 4 2) itu diisi ilusionis lapangan hijau. Di bawah mistar gawang berdiri Lev Ivanovich Yashin. Kemudian duo bek setangguh banteng yakni Franz Anton Beckenbauer bersama Robert Frederick Chelsea Moore (Bobby Moore). Gelandang diperkuat Michel Francois Platini, Diego Armando Maradona, Zinedine Yazid Zidane serta Hendrik Johannes Cruijff. Sementara striker terdiri atas Alfredo diStefano, Edson Arantes do Nascimento (Pele), Eusebio Ferreira da Silva dan Ferenc Puskas.
Sebelas the great tersebut pasti tak punya lawan sepadan sekalipun alien dari seberang galaksi. Sayang, mereka muskil disatukan dalam sebuah tim. Untung PlayStation dapat merealisasikan the dream team itu. Alhasil, aksi-aksi brilian mereka bisa dinikmati walau sesak dengan rekayasa stick oleh tangan kita sendiri.
Sepuluh tahun sudah berlalu, Winning Eleven ternyata tetap membekas di kalbu. Winning Eleven selalu terpatri di hati sampai hari ini, ketika saya telah tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar