Dragonomics
Tiongkok
Oleh
Adrian Jourdan Muslim
Peminat
Masalah Ekonomi
Tidak
terbayang sebelumnya jika ekonomi bisa membuat negara raksasa
terlibat sengketa perang dingin. Ilustrasi paling aktual ialah Cina
dengan Amerika Serikat. Pendekar yuan versus koboi dollar saling
bersua di medan laga.
Ekonomi
Amerika yang berdarah-darah ditonjok subprime
mortgages (kredit pemilikan rumah)
pada 2008, makin limbung karena ditebas Cina. Amerika ngos-ngosan
menghadapi Cina. Selama 25 tahun, Amerika dibekap defisit
perdagangan yang sekarang mencapai 0,5 triliun dollar AS per tahun.
Defisit
perdagangan yang melanda Amerika tertoreh yang terbesar di dunia.
Biang defisit terbesar Amerika terjadi gara-gara Cina. Presiden
Barack Obama menuduh Cina memanipulasi nilai tukar yuan sembari
melindungi sistem perdagangannya.
Amerika
mempersoalkan kebijakan Cina seperti nilai mata uang rendah dan
subsidi. Amerika meradang akibat kebijakan tersebut repot
dikendalikan.
Bukan
cuma Amrik yang gundah-gulana. Negara-negara maju lain juga terkulai
lemas oleh Cina. Barat mengecam Cina lantaran kebijakannya tak adil
bagi perdagangan. Mereka beranggapan bila kebijakan mata uang telah
memberikan laba jumbo kepada industri Cina yang berorientasi ekspor.
Cina dituding sengaja menjaga nilai tukar yuan rendah demi
menguntungkan perusahaan-perusahaannya. Apalagi, ekspor Cina yang
sangat besar dipadu dengan produk lebih murah di pasar internasional.
Uni
Eropa mencak-mencak bahwa Cina menggiring nilai tukar yuan rendah
guna mendorong negara itu menjadi pusat manufaktur serta ekonomi
terbesar kedua di dunia. Paman Sam pun bereaksi. Ia melarang
penjualan sebagian barang berteknologi tinggi ke Cina dengan alasan
keamanan nasional.
Aktivitas
ekonomi Cina yang paling menggusarkan yakni invasi ke Afrika. Cina
punya sertifikat untuk mengeksplorasi sumber daya alam Afrika,
terutama energi dan logam. Cina yang menanam investasi besar di
Afrika sesungguhnya membawa dampak positif. Pasalnya, tercipta
lapangan kerja baru maupun prasarana baru.
Invasi
ke Afrika menjabarkan kalau ekonomi Cina memang bertenaga naga.
Tiada negara di dunia yang selamat dari tsunami ekonomi global. Cina
pun terseret pusaran krisis. Biarpun dirajam prahara, namun, Cina
satu-satunya negara yang perekonomiannya masih tumbuh.
Pasar
Sosialis
Keajaiban
ekonomi Cina bermula kala Deng Xiaoping memperkenalkan visi Modern
China pada 1978. Reformasi ekonomi
itu mengusung konsep pintu terbuka sekaligus ekonomi pasar. Deng
berkehendak memacu industri sambil memicu ekspor. Cina mensinergikan
sistem ekonomi kapitalis dengan sistem politik sosialis. Metode
ekonomi tersebut mereka namakan sistem ekonomi pasar sosialis.
Tiap
November atau awal Desember, Pusat Politbiro Partai Komunis membahas
arah ekonomi tahun berikutnya. Para punggawa partai menamakan
pertemuan itu sebagai rapat pengambilan suara. Kini, sepertiga
produksi industri berputar berkat setengah triliun dollar uang asing
mengalir sejak 1978. Investasi asing tersebut merupakan modal yang
menuntun Cina terus berkembang. Hingga, terjadi peningkatan kekayaan
secara individual. GDP per orang di Cina sekitar 4.500 dollar AS.
Di
tiap jengkal tanah Negeri Tirai Bambu, khalayak boleh berinvestasi.
Modal mereka aman sentosa. Maklum, pemerintah menjamin keamanan
serta stabilitas politik. Pemerintah memotong pula jalur birokrasi
dan sejumlah kendala lain. Bahkan, ada undang-undang Pengontrolan
Harga.
Di
tahun naga 2012 ini, program stimulus ekonomi Cina ditujukan buat
pengembangan infrastruktur, kereta api serta proyek konstruksi. Pada
tarikh ini, Cina mengaplikasikan kebijakan moneter prudent.
Mereka berniat menerapkan sikap hati-hati dan cukup longgar.
Penurunan sektor manufaktur menjadi sinyal kuat jika ekonomi Cina
sedang dalam masa pendinginan.
Ekonomi
Indonesia
Selama
30 tahun (1978-2012), ekonomi Cina berbiak pesat. Yuan alias
renminbi
terus mempertontonkan kesaktiannya. Dollar, euro atau yen seolah
tidak lagi berarti di hadapan yuan.
Kecemerlangan ekonomi Cina tentu membuat Indonesia harus
segera berbenah diri. Indonesia butuh sebuah acuan nyata, bukan
referensi angan-angan.
Cina
di awal berdirinya tak berbeda jauh dengan Indonesia. Sama-sama
sengsara serta fakir. Penyakit Cina lebih parah. Mereka terlibat
perang saudara antara pasukan Chiang Kai-shek dengan pendukung Mao
Zedong.
Ketika
Mao memimpin Cina, petaka lain membelenggu. Kemiskinan merajalela.
Rumput dan pohon seolah ogah tumbuh. 40 juta orang mati kelaparan.
Pada 16 Mei 1966, berkobar Revolusi Kebudayaan
(wuchan jieji wenhua da geming).
Ribuan warga dibunuh oleh Tentara Rakyat.
Tidak
dinyana, Cina sekonyong-konyong bersalin rupa. Menjelang abad ke 21,
Cina tak lagi menderita. Negeri Tembok Raksasa itu yang justru
menebar derita kepada Amerika serta Eropa. Ekonomi Cina membuat
banyak pihak ketar-ketir.
Indonesia
mesti secepatnya berbenah dengan pola realistis. Bukan berdasar
khayalan yang tidak berpijak pada bumi. Sebagai contoh, sempat
didengungkan Visi 2030.
Inti referensi angan-angan tersebut adalah GDP Indonesia bakal
mencapai 18 ribu dollar AS. Kemudian yang lebih bombastis yaitu
Indonesia menjadi kekuatan ekonomi dunia kelima.
Pada
esensinya, Visi 2030
sekedar angin surga. Apalagi, GDP 18 ribu dollar AS per kapita tak
identik dengan kemakmuran. GDP tinggi tidak ada maknanya bila harga
bahan pokok dan non-pokok ikut melambung berlipat ganda. Bukan
kemakmuran dan kesejahteraan yang muncul, tetapi, antrean panjang
pembagian beras miskin (raskin). Operasi pasar pun pasti sering
diadakan.
Analis
berfatwa bahwa ekonomi Indonesia tumbuh. Sepanjang 2011, mencapai
6,5 persen dengan inflasi 3,79 persen. Angka tersebut menjadikan
Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di
ASEAN. Di sisi lain, Indonesia tertoreh sebagai negara dengan angka
inflasi terendah se-Asia Pasifik. Sedangkan data statistik jumlah
penduduk miskin juga kian minim. Pada 2010, penduduk miskin sekitar
43,1 juta orang dari jumlah penduduk.
Data
ini jelas melecehkan akal sehat. Faktanya, orang melarat makin
bertambah. Berdasarkan data Asian
Development Bank, angka kemisinan di
Indonesia melonjak tajam. Indonesia malahan diklaim sebagai negara
gagal oleh Fund for Peace
pada akhir Juni 2012. Inilah yang disabdakan Mark Twain bahwa “there
are lies, damn lies and statistics”
(ada dusta biasa, tipuan konyol serta bilangan statistik).
Indonesia
wajib membenahi ekonomi demi menyongsong masa depan. Tak usah
menghitung GDP versi Visi 2030.
Pemerintah lebih baik selekasnya menyediakan lapangan kerja seraya
memberantas korupsi.
Kalau
pemerintah tidak mampu menyiapkan lapangan kerja, maka, Indonesia
akan menjadi kekuatan ekonomi kelima dari urutan buntut di antara 194
negara. Jika pemerintah tak sanggup mengganyang koruptor, niscaya
Indonesia hanya penonton yang tepekur di bangku belakang menyaksikan
dragonomics
(ekonomi naga) Cina yang menguasai kolong langit.
(Cakrawala,
Rabu, 12 September 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar