2

Jumat, 14 September 2012

Dragonomic Tiongkok






Dragonomics Tiongkok

Oleh Adrian Jourdan Muslim
Peminat Masalah Ekonomi

Tidak terbayang sebelumnya jika ekonomi bisa membuat negara raksasa terlibat sengketa perang dingin. Ilustrasi paling aktual ialah Cina dengan Amerika Serikat. Pendekar yuan versus koboi dollar saling bersua di medan laga.
Ekonomi Amerika yang berdarah-darah ditonjok subprime mortgages (kredit pemilikan rumah) pada 2008, makin limbung karena ditebas Cina. Amerika ngos-ngosan menghadapi Cina. Selama 25 tahun, Amerika dibekap defisit perdagangan yang sekarang mencapai 0,5 triliun dollar AS per tahun.
Defisit perdagangan yang melanda Amerika tertoreh yang terbesar di dunia. Biang defisit terbesar Amerika terjadi gara-gara Cina. Presiden Barack Obama menuduh Cina memanipulasi nilai tukar yuan sembari melindungi sistem perdagangannya.
Amerika mempersoalkan kebijakan Cina seperti nilai mata uang rendah dan subsidi. Amerika meradang akibat kebijakan tersebut repot dikendalikan.
Bukan cuma Amrik yang gundah-gulana. Negara-negara maju lain juga terkulai lemas oleh Cina. Barat mengecam Cina lantaran kebijakannya tak adil bagi perdagangan. Mereka beranggapan bila kebijakan mata uang telah memberikan laba jumbo kepada industri Cina yang berorientasi ekspor. Cina dituding sengaja menjaga nilai tukar yuan rendah demi menguntungkan perusahaan-perusahaannya. Apalagi, ekspor Cina yang sangat besar dipadu dengan produk lebih murah di pasar internasional.
Uni Eropa mencak-mencak bahwa Cina menggiring nilai tukar yuan rendah guna mendorong negara itu menjadi pusat manufaktur serta ekonomi terbesar kedua di dunia. Paman Sam pun bereaksi. Ia melarang penjualan sebagian barang berteknologi tinggi ke Cina dengan alasan keamanan nasional.
Aktivitas ekonomi Cina yang paling menggusarkan yakni invasi ke Afrika. Cina punya sertifikat untuk mengeksplorasi sumber daya alam Afrika, terutama energi dan logam. Cina yang menanam investasi besar di Afrika sesungguhnya membawa dampak positif. Pasalnya, tercipta lapangan kerja baru maupun prasarana baru.
Invasi ke Afrika menjabarkan kalau ekonomi Cina memang bertenaga naga. Tiada negara di dunia yang selamat dari tsunami ekonomi global. Cina pun terseret pusaran krisis. Biarpun dirajam prahara, namun, Cina satu-satunya negara yang perekonomiannya masih tumbuh.

Pasar Sosialis
Keajaiban ekonomi Cina bermula kala Deng Xiaoping memperkenalkan visi Modern China pada 1978. Reformasi ekonomi itu mengusung konsep pintu terbuka sekaligus ekonomi pasar. Deng berkehendak memacu industri sambil memicu ekspor. Cina mensinergikan sistem ekonomi kapitalis dengan sistem politik sosialis. Metode ekonomi tersebut mereka namakan sistem ekonomi pasar sosialis.
Tiap November atau awal Desember, Pusat Politbiro Partai Komunis membahas arah ekonomi tahun berikutnya. Para punggawa partai menamakan pertemuan itu sebagai rapat pengambilan suara. Kini, sepertiga produksi industri berputar berkat setengah triliun dollar uang asing mengalir sejak 1978. Investasi asing tersebut merupakan modal yang menuntun Cina terus berkembang. Hingga, terjadi peningkatan kekayaan secara individual. GDP per orang di Cina sekitar 4.500 dollar AS.
Di tiap jengkal tanah Negeri Tirai Bambu, khalayak boleh berinvestasi. Modal mereka aman sentosa. Maklum, pemerintah menjamin keamanan serta stabilitas politik. Pemerintah memotong pula jalur birokrasi dan sejumlah kendala lain. Bahkan, ada undang-undang Pengontrolan Harga.
Di tahun naga 2012 ini, program stimulus ekonomi Cina ditujukan buat pengembangan infrastruktur, kereta api serta proyek konstruksi. Pada tarikh ini, Cina mengaplikasikan kebijakan moneter prudent. Mereka berniat menerapkan sikap hati-hati dan cukup longgar. Penurunan sektor manufaktur menjadi sinyal kuat jika ekonomi Cina sedang dalam masa pendinginan.

Ekonomi Indonesia
Selama 30 tahun (1978-2012), ekonomi Cina berbiak pesat. Yuan alias renminbi terus mempertontonkan kesaktiannya. Dollar, euro atau yen seolah tidak lagi berarti di hadapan yuan.
Kecemerlangan ekonomi Cina tentu membuat Indonesia harus segera berbenah diri. Indonesia butuh sebuah acuan nyata, bukan referensi angan-angan.
Cina di awal berdirinya tak berbeda jauh dengan Indonesia. Sama-sama sengsara serta fakir. Penyakit Cina lebih parah. Mereka terlibat perang saudara antara pasukan Chiang Kai-shek dengan pendukung Mao Zedong.
Ketika Mao memimpin Cina, petaka lain membelenggu. Kemiskinan merajalela. Rumput dan pohon seolah ogah tumbuh. 40 juta orang mati kelaparan. Pada 16 Mei 1966, berkobar Revolusi Kebudayaan (wuchan jieji wenhua da geming). Ribuan warga dibunuh oleh Tentara Rakyat.
Tidak dinyana, Cina sekonyong-konyong bersalin rupa. Menjelang abad ke 21, Cina tak lagi menderita. Negeri Tembok Raksasa itu yang justru menebar derita kepada Amerika serta Eropa. Ekonomi Cina membuat banyak pihak ketar-ketir.
Indonesia mesti secepatnya berbenah dengan pola realistis. Bukan berdasar khayalan yang tidak berpijak pada bumi. Sebagai contoh, sempat didengungkan Visi 2030. Inti referensi angan-angan tersebut adalah GDP Indonesia bakal mencapai 18 ribu dollar AS. Kemudian yang lebih bombastis yaitu Indonesia menjadi kekuatan ekonomi dunia kelima.
Pada esensinya, Visi 2030 sekedar angin surga. Apalagi, GDP 18 ribu dollar AS per kapita tak identik dengan kemakmuran. GDP tinggi tidak ada maknanya bila harga bahan pokok dan non-pokok ikut melambung berlipat ganda. Bukan kemakmuran dan kesejahteraan yang muncul, tetapi, antrean panjang pembagian beras miskin (raskin). Operasi pasar pun pasti sering diadakan.
Analis berfatwa bahwa ekonomi Indonesia tumbuh. Sepanjang 2011, mencapai 6,5 persen dengan inflasi 3,79 persen. Angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di ASEAN. Di sisi lain, Indonesia tertoreh sebagai negara dengan angka inflasi terendah se-Asia Pasifik. Sedangkan data statistik jumlah penduduk miskin juga kian minim. Pada 2010, penduduk miskin sekitar 43,1 juta orang dari jumlah penduduk.
Data ini jelas melecehkan akal sehat. Faktanya, orang melarat makin bertambah. Berdasarkan data Asian Development Bank, angka kemisinan di Indonesia melonjak tajam. Indonesia malahan diklaim sebagai negara gagal oleh Fund for Peace pada akhir Juni 2012. Inilah yang disabdakan Mark Twain bahwa “there are lies, damn lies and statistics” (ada dusta biasa, tipuan konyol serta bilangan statistik).
Indonesia wajib membenahi ekonomi demi menyongsong masa depan. Tak usah menghitung GDP versi Visi 2030. Pemerintah lebih baik selekasnya menyediakan lapangan kerja seraya memberantas korupsi.
Kalau pemerintah tidak mampu menyiapkan lapangan kerja, maka, Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi kelima dari urutan buntut di antara 194 negara. Jika pemerintah tak sanggup mengganyang koruptor, niscaya Indonesia hanya penonton yang tepekur di bangku belakang menyaksikan dragonomics (ekonomi naga) Cina yang menguasai kolong langit.

(Cakrawala, Rabu, 12 September 2012)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Wal-Mart.com USA, LLC

4

7

Wal-Mart.com USA, LLC
Wal-Mart.com USA, LLC
Wal-Mart.com USA, LLC
Wal-Mart.com USA, LLC