(Peringatan Hari Pers Internasional 3 Mei 2011)
Oleh Adrian Jourdan Muslim
Peminat Fenomena New Media
Tanpa terasa, Hari Pers Dunia kembali hadir. Hari Pers Internasional tentu hanya berlangsung selama dasawarsa kedua milenium ketiga ini. Aspek itu karena pers alias media cetak makin repot bertahan menghadapi terjangan media online yang real time.
Gadget ultra-modern serba touch dan perangkat elektronik produksi mutakhir selalu berjalan seiring dengan spirit media. Sebagai contoh ialah pernikahan antara televisi dengan Internet. Televisi tidak lagi pasif merilis peristiwa. Kotak kaca tersebut mulai aktif memanjakan pemirsa berkat dibalut kecepatan koneksi Internet dengan teknologi Wi-MAX atau Long Term Evolution. Di negeri Bang Obama, pelanggan televisi kabel diprediksi segera beralih ke televisi Internet. Amazon Instant Video, Netflix serta Vudu sebagai televisi Internet kelak kebanjiran pelanggan.
Industri pers senantiasa menyelaraskan diri dengan perkembangan alat komunikasi. Telepon genggam yang dulu cuma mengirim seraya menerima pesan, kini kian canggih. Di periode ini, ponsel tak sekedar menjadi alat komunikasi. Handphone makin memanjakan penggunanya dengan aneka hasrat. Facebook dan Twitter sebagai media sosial juga telah diaplikasikan ke jeroan telepon genggam. Arkian, masyarakat kian terikat sebagai komunitas digital.
Hari Pers Dunia selalu identik dengan media-media cetak berskala besar. Sementara Pers Mahasiswa jarang didengungkan. Padahal, Pers Mahasiswa merupakan wahana tumbuh-kembang bibit-bibit calon pelaku pers profesional. Rosihan Anwar bertitah bahwa Pers Mahasiswa adalah lahan persemaian (breeding ground) bagi pertumbuhan wartawan profesional.
Posisi mahasiswa sebagai bagian dari kaum berpendidikan (educated people) berdampak pada Pers Mahasiswa. Pers Mahasiswa dalam kebudayaan literasi merupakan agen pencerahan. Pers Mahasiswa melatih mempraktekkan prinsip obyektivitas. Mereka diarahkan menegakkan akurasi sekaligus prinsip keseimbangan berita. James McCrimmon berwasiat bahwa penulis harus cakap mendayagunakan struktur bahasa serta kosakata.
Pers Mahasiswa mendidik pula agar menganulir kabar bohong, terlebih fitnah. Para pengasuhnya dilatih berjiwa ksatria, bertanggung jawab dan terbuka. Apalagi, menulis merupakan kegiatan mencatat, menginformasikan serta mensugesti pembaca.
Pers Mahasiswa pada akhirnya berfungsi sebagai saluran ekspresi demi mewadahi kebebasan berpendapat (franc-parler). Parameter itu tiada lain kebebasan akademik yang menjadi karakter komunitas perguruan tinggi. Elemen krusial dari kebebasan tersebut terletak pada tanggung jawab civitas akademika dan masyarakat.
Majalah Lektura
Di Makassar, Pers Mahasiswa yang tersohor pada tarikh 1990-1992 yakni majalah Lektura. Media ini diawaki oleh Sukma Rasyid, Andi Ilham Paulangi, Nasru Alam Aziz, Rahmawaty Syukur, Mukhlis Amans Hady, Mustam Arif bersama M Nawir.
Kala itu, Alwy Rachman (PD III Sastra Unhas), Andi Ilham Paulangi (Ketua Senat Sastra) berikut Salahuddin Alam (Ketua BPM Sastra) merasakan riak berupa tuntutan kebutuhan mahasiswa untuk menyalurkan aspirasi. Lektura pun digagas serta diracik. Pada Agustus 1990, Lektura terbit dengan penampilan yang sangat menawan.
Kala itu, Alwy Rachman (PD III Sastra Unhas), Andi Ilham Paulangi (Ketua Senat Sastra) berikut Salahuddin Alam (Ketua BPM Sastra) merasakan riak berupa tuntutan kebutuhan mahasiswa untuk menyalurkan aspirasi. Lektura pun digagas serta diracik. Pada Agustus 1990, Lektura terbit dengan penampilan yang sangat menawan.
Pada hakikatnya, Lektura (1990-1992) merupakan kelanjutan Lektura (1974-1975) yang diasuh M Dahlan Abubakar, Aminuddin Ram bersama Anwar Ibrahim. Dari serpihan hikayat, Lektura pada 1964-1969, juga pernah terbit dengan pengasuh Prof Dr A Mattulada, Ishak Ngeljaratan dan HD Mangemba.
Lektura (1990-1992) tertoreh sebagai pionir Pers Mahasiswa di Unhas. Begitu majalah Lektura dirilis, kontan sejumlah fakultas turut menerbitkan tabloid. Sayang bahwa penerbitan dari fakultas lain tidak kokoh. Mereka hanya sekali terbit, sesudah itu tinggal kenangan.
Lektura tergolong beruntung. Sebab, redaksinya solid, cerdas, berani serta sehati sebagai saudara. Majalah tersebut memegang manifesto untuk melaporkan dan menganalisis informasi demi kepentingan publik. Lektura menggali bahan yang tampak samar-samar di permukaan.
Lektura menjadi buah bibir karena punya saraf keberanian buat mengungkap suatu keborokan. Beberapa pihak kemudian resah oleh sikap keras Lektura. Bulan madu Lektura sebagai media alternatif di era Orde Baru cuma berlangsung dua tahun.
Lektura menemui ajal tatkala menurunkan laporan utama tentang Golongan Putih (Golput). Isu Golput yang diangkat dianggap bisa mengganggu stabilitas serta keamanan. Apalagi, Pemilu 1992 tinggal menghitung hari. Departemen Penerangan Sulawesi Selatan akhirnya melarang Lektura diterbitkan dan diedarkan. Lektura pun tertoreh sebagai satu-satunya Pers Mahasiswa di Indonesia Timur yang dibreidel rezim Orde Baru.
Di masa sekarang, Pers Mahasiswa sulit mengikuti jejak Lektura. Pasalnya, zaman telah berubah. Dulu, keterbukaan politik dikekang-erat. Media mainstream pun teramat hati-hati. Bahkan, mengambil sikap tiarap ketika menurunkan berita perihal politik.
Kini, demokrasi mulai bersemi di Indonesia. Politik tak lagi tabu didiskusikan. Hatta, Pers Mahasiswa pasti tidak pas jika berniat mengungkit isu-isu politik. Kuno rasanya bila Pers Mahasiswa tergiur mengekspos politik kontemporer Indonesia.
Isu Sosial
Dewasa ini, tanggung jawab Pers Mahasiswa yaitu mempublikasikan persoalan-persoalan sosial. Kultur Indonesia tercerabut akibat perkara sosial yang menghantam masyarakat. Isu-isu sosial yang marak di sekitar kita ialah korupsi, seks bebas, suka bohong, tawuran, penyalahgunaan narkoba maupun ekologi.
Di masa sekarang, Pers Mahasiswa dituntut mengekspos isu-isu sosial. Kecenderungan yang kini terpampang adalah industri pers terbagi dua. Media cetak seolah seragam mewartakan dinamika politik. Sedangkan media elektronik ketagihan dengan infotainment. Keriuhan televisi hanya seputar sinetron, kuis serta gosip seleb.
Media cetak dan elektronik seolah lupa dengan isu-isu sosial. Dengan demikian, peluang Pers Mahasiswa terbuka lebar untuk turut andil dalam pembangunan Indonesia. Soalnya, mereka dapat menggarap isu-isu sosial yang ditinggalkan oleh media raksasa.
Media cetak serta elektronik selama ini rumit diandalkan lantaran segelintir industri pers tak independen dari politik. Akibatnya, rakyat muak dengan ocehan tidak berpangkal para politisi. Tamsil terbaik yakni lumpur panas Lapindo. Sampai sekarang sesudah lima tahun Sidoarjo digenangi lumpur, kita masih geleng-geleng kepala sembari mengelus dada. Saudara setanah air dari Sidoarjo masih banyak yang terkatung-katung. Ganti rugi seret. Korporasi pers kehilangan peran sebagai pengawas lingkungan (surveillance of environment).
Lumpur Lapindo menjadi sebuah lahan bagi Pers Mahasiswa. Para pengasuh media-media kampus wajib menginformasikan kalau ada rasa keadilan yang dilecehkan. Pers Mahasiswa mesti garang berkomentar bahwa masalah ekologi disepelekan gara-gara diperbudak nafsu serakah.
Di Hari Pers Internasional ini, kita menanti Pers Mahasiswa kembali menggelegak. Awak Pers Mahasiswa harus lantang mengentas isu-isu sosial. Tulis-menulis dengan segala problematikanya di kalangan mahasiswa mutlak digelorakan. Maklum, “mahasiswa penulis” merupakan insan terbaik suatu perguruan tinggi.
Era media sosial ini menjadi momentum bagi Pers Mahasiswa untuk bangkit supaya tak terkucil dari khalayak. Media kampus mesti segera berbenah diri untuk tampil dengan ciri khas mahasiswa yang obyektif, analitis, kritis dan kaya ide. Bersabda Pramoedya Ananta Toer: “Orang boleh pintar setinggi langit, namun, selama tidak menulis niscaya ia dilupakan sejarah”.
(Fajar, 3 Mei 2011)
(Fajar, 3 Mei 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar