Menanti Fajar
Edisi Bahasa Inggris
(Ulang Tahun ke 30 Harian Fajar)
Oleh Adrian Jourdan Muslim
Pembaca dan Kolektor Harian Fajar
Harian Fajar merupakan media yang sarat romantika. Pada 1990-an, bertebar agen-agen harian Fajar di Ujung Pandang. Terbetik di hati jika itu tentu mubazir. Saat kantor harian Fajar pindah dari Jalan Ahmad Yani ke Jalan Racing Centre, saya termangu. Bisakah Fajar berkembang di lokasi sunyi-senyap tersebut? Kala itu, Racing Centre gelap-gulita tanpa lampu penerangan jalan. Saya sempat kesasar ketika suatu malam pulang dari kantor Fajar.
Pada tahun 2000-an, agen-agen yang dulu menjamur rupanya membuahkan hasil positif. Sebab, harian Fajar menjadi media lokal yang mendominasi peredaran surat kabar di Makassar. Koran ini dinikmati oleh golongan eksekutif elit sampai jemaah kelas teri di kawasan pinggiran (banlieues). Tidak bisa dinafikan bila harian Fajar makin gemilang sesudah menempati Gedung Graha Pena di Jalan Urip Sumoharjo. Sebuah prestasi dari jerih-payah yang bermula pada Jalan Ahmad Yani.
Di masa kini, media merupakan pilar kekuatan setelah ekonomi dan militer. Sementara handphone diklaim sebagai primadona perangkat media di milenium ketiga, abad ke 21 serta tarikh 2011 ini. Ponsel sudah mengubah peradaban manusia secara revolusioner.
Sebagai contoh, kejadian di rimba-raya Amazon yang belum terjangkau listrik. Peristiwa di hutan belantara tersebut dapat ditonton berkat handphone leluasa mengabadikannya. Sedangkan kejadian di gurun Sahara yang terik bisa pula diakses lewat ponsel.
Segala momen enteng diterawang via handphone yang punya gerbang ke Internet. Negara-negara yang mempraktekkan sensor secara ketat, jelas repot mengatasi dunia maya. Aspek itu tak lepas dari keunggulan ponsel.
Kesaktian media yang teramat terasa yakni keandalannya “mencuci otak” para pendengar maupun pemirsa. Tatkala Amerika Serikat diterpa 9/11 pada 2001, mendadak George Bush memekikkan jargon “terorisme”. Istilah “terorisme” kontan bergaung sebagai kosa kata paling sering diucapkan dalam pergaulan sehari-hari.
Tragedi 9/11 lantas menjadi pijakan bagi Bush guna meluluh-lantakkan Afghanistan sekaligus Irak. Prahara 9/11 sesungguhnya skenario Neocons (elang Yahudi) yang bercokol di seputar Bush. Mereka melihat eksistensi Israel kian terancam oleh negara-negara Arab. Tesis 9/11 kemudian diusung demi menyelamatkan Israel. Bush yang buta politik Timur Tengah pun dijadikan boneka Neocons.
Ribuan orang akhirnya mati di Afganistan dan Irak. Semua gara-gara kebijakan Bush yang melanggar prinsip hak asasi manusia (HAM). Rakyat sipil dibantai sampai mampus, tetapi, kebrutalan tersebut tidak dianggap sebagai terorisme. Bush yang mengidap penyakit kronis pada mentalnya justru dielu-elukan sebagai penegak demokrasi. Pembunuhan sadis oleh prajurit Amrik bersama sekutunya tak dihujat habis-habisan lantaran media global dikuasai Israel.
Facebook
Dewasa ini, media bukan sekedar penebar kabar atau ajang bisnis. Media telah bersalin rupa sebagai entitas baru. Media makin sulit dipelintir oleh tirani otoriter. Kalau media diancam, maka, muncul dukungan dari berbagai penjuru bumi. Facebook lalu menjadi saluran buat mendukung media yang dizalimi.
Kasus Prita Mulyasari menjadi contoh bagaimana dahsyat kekuatan media. Unek-unek yang diungkapnya dalam “surat pembaca detik” menuai perkara besar. Ia dibui oleh jaksa yang mengacu pada UU ITE pasal 27 (3) dengan ancaman hukuman enam tahun penjara. Komunitas blogger yang bersimpati kepada Prita lantas balik menyerang. Mereka menggempur aparat hukum lewat dunia nyata dan dunia maya yang dinilai semena-mena terhadap Prita. Pada 3 Juni 2009, ibu dua anak itu akhirnya dibebaskan sesudah mendekam di LP Wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009. Andai Internet belum ada, niscaya nasib Prita membusuk di balik jeruji besi.
Ciri khas media yang terlihat sekarang ialah kecepatan. Kejadian yang berlangsung beberapa detik sebelumnya, tiba-tiba telah diberitakan. Di Indonesia, televisi berlomba menayangkan secara live iring-iringan pemudik. Mereka menerjunkan wartawan di pojok-pojok strategis. Data-data pemudik korban kecelakaan pun dipajang. Tiap menit data tersebut terkoreksi berkat kegesitan reporter mengais kabar dari narasumber.
Kecepatan yang menjadi ciri utama media merupakan suatu kekuatan dalam makna hakiki. Dengan short message service (SMS) atau facebook, orang gampang menggalang massa. Bahkan, mengkonstruksi sebuah patriotisme terhadap Malaysia yang tindak-tanduknya kadang menggelisahkan. Fase itu merupakan metamorfosis mutakhir media. Awalnya, media sekedar papan pengumuman. Kemudian menjadi barang dagangan sesudah Johann Guttenberg merancang stempel baja (mesin cetak) sekitar tahun 1450. Kini, media berubah sebagai entitas dengan kekuatan yang sukar dibayangkan sebelumnya.
Francophone
Perkembangan harian Fajar yang terus menggembirakan, sekarang harus diimbangi dengan edisi bahasa Inggris. Di ranah maya, edisi bahasa Inggris menjadi referensi dunia. Pasalnya, terukir sejumlah peristiwa lokal serta nasional yang menarik disimak. Tagline Fajar online bahwa: “Lengkap Terpercaya”, pasti kian optimal bagi pembaca koran ini. Soalnya, memaksimalkan kepuasan sangat diprioritaskan.
Harian Fajar mesti terus berbenah agar tidak tenggelam dalam mengarungi dinamika zaman. Koran ini wajib up to date dan up to time supaya tak tertinggal dalam kompetisi di dekade digital (2010-2020). Apalagi, media cetak makin tersudut oleh Internet. Hingga, Fajar edisi bahasa Inggris merupakan celah untuk menancapkan keberadaan surat kabar ini secara global.
Pada esensinya, suatu informasi tepat sasaran jika mampu dimengerti. Buku panduan alat-alat elektronik dari Jepang maupun Tiongkok, umpamanya, senatiasa melampirkan bahasa Inggris. Maklum, tidak semua insan fasih berkomunikasi Nihongo atau bahasa Mandarin. Bila tak diiringi bahasa Inggris, maka, alat elektronik bersangkutan rumit dioperasikan.
Kalau harian Fajar edisi khusus bahasa Inggris telah tersedia, niscaya kalangan terdidik di Sulawesi Selatan memiliki referensi berkualitas. Apalagi, penulis-penulis di harian Fajar rata-rata bergelar doktor. Dengan demikian, menjadi poros peredaran ide-ide brilian. Hal tersebut menunjukkan jika Fajar merupakan bacaan kaum profesional dengan logika yang padat kecerdasan.
Harian terkemuka The Jerusalem Post di Israel yang berbahasa Inggris, sukses menyajikan edisi bahasa Perancis. Tiap akhir pekan, The Jerusalem Post menerbitkan edisi khusus berbahasa Perancis. Arkian, Francophone (penutur bahasa Perancis) di segenap wilayah dunia dapat mengaksesnya. Di sini jelas terpampang peluang bisnis berskala gigantik. Sebab, perusahaan-perusahaan multinasional memandangnya sebagai sarana prima nan unggul buat mengiklankan barang. Apalagi, Francophone di pelbagai negara lebih 80 juta jiwa. Sementara pemakai bahasa Perancis (la langue francaise) sebagai bahasa kedua mencapai 130 juta jiwa.
Harian Fajar edisi bahasa Inggris tentu punya kans besar untuk meraih sukses sebagaimana The Jerusalem Post. Insan marketing bersabda bahwa peluang sekecil apa saja harus dimaksimalkan. Tanpa mengoptimalkan kesempatan, berarti kegagalan segera melumat
(Fajar, 30 September 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar