Vaksinasi
Bagi Pelaku
Tasawuf
Oleh
Adrian Jourdan Muslim
Kritikus Ajaran Sesat Tasawuf
Sejak tahun
90-an, gemuruh sufisme melanda umat muslim Indonesia. Kitab-kitab
Islamic mysticism
terbit seolah tanpa rihat. tasawuf di tengah kehidupan
kapitalistik-liberalisme, ibarat spiritualisme abad ke 21. Gema
sufisme dipandang sebagai basis buat menghayati makna kehidupan.
Padahal, tarekat Islam sebetulnya salah persepsi mengenai akidah.
Tasawuf yang
dianggap lifestyle
alternatif sesungguhnya berlumur kekeliruan. Sebab, metode sufisme
banyak yang berseberangan dengan mandat Ilahi. Ada malahan wali atau
mursyid
(guru sufi) yang diibadahi. Jemaah suatu mazhab tidak segan
melakukan praktik pemujaan terhadap mursyid.
Guru sufi yang tak jelas asal-usulnya itu disucikan melebihi
Muhammad, sang Maha Rasul.
Selama ini,
kebatinan Islam acap bersikap eksklusif, fanatik, intoleransi, liar,
menentang kebenaran sekaligus pendukung kebatilan. Tasawuf juga
berperilaku irasional seraya bersikap di luar kelaziman. Akibatnya,
sufisme dinilai sebagai rantai dogma yang menyesatkan.
Beberapa
tokoh sufi ditengarai pula doyan menistai Islam. Ibnu Sab’in,
rekan Ibnu Arabi berkata: “Muhammad terjebak di kandang kambing
kala bersabda tidak ada lagi nabi sesudahnya”. Ibnu
Sab’in yang tergiur menjadi nabi, sering bersemedi di Gua Hira. Ia
berharap memperoleh ayat-ayat suci dari Jibril.
Talmisani,
seorang anggota kelompok Ibnu Arabi yang lain sempat mencela kitab
suci. “Segenap isi al-Qur’an
adalah syirik. Tauhid hanya ada pada golongan kami. Jika kamu ingin
mencapai hakikat, maka, tinggalkan al-Qur’an, Hadis berikut ijma
ulama”.
Abu Hasan
Ali bin Abdillah bin Jabbar as-Syazili, pendiri tarikat Syaziliyah,
berkomentar: “Andai kalian mau mengajukan permohonan kepada Allah,
sampaikanlah lewat Al-Ghazali”. Ia juga mengutarakan kepada
kelompoknya kalau Ihya Ulumuddin
karya Al-Ghazali mewariskan segudang ilmu kepada mereka. Padahal,
masterpiece
Al-Ghazali tersebut berbahaya sekali.
Abu Bakar
at-Thurthusi berfatwa: “Al-Ghazali menulis Ihya
Ulumuddin dengan kedustaan kepada
Rasulullah. Saya belum pernah melihat buku di muka bumi ini sepalsu
Ihya Ulumuddin”.
Kelezatan
Syahwat
Tasawuf
merupakan suatu wadah yang tak punya asas rasionalitas. Mistik Islam
yang kadang didesain di gua-gua gulita nan sunyi di rimba belantara,
bagai seonggok bualan minus saripati. Wali-wali sufi lantas
bergentayangan dengan konsep heterodoks.
Individu
yang lemah secara materi, akal dan iman akhirnya tergiur dengan
tarekat Islam. Maklum, mazhab bid’ah itu mengusung manifesto
“credo quia absurdum” (saya meyakininya karena tidak jelas).
Hatta, lahir partikel kesesatan semacam wihdat
al-wujud atau fanai.
Sufisme yang
bertolak belakang dengan elemen Islam, memusuhi pula kenikmatan
dunia. Wujud asketis yang meninggalkan profanitas alias menyingkir
dari hiruk-pikuk sosial, terlihat pada mayoritas salikin
(komunitas asketisisme).
Bisyir Abu
Nasir bin al-Haris, contohnya, tercatat sebagai sufi tulen yang
hidupnya cuma untuk kepentingan ibadah semata. Penampilannya mirip
pengemis yang terlunta-lunta di lorong-lorong senyap kota Baghdad.
Bisyir menolak seluruh kelezatan syahwat. Bahkan, tak hirau dengan
jasmaninya. Ia ogah mengenakan alas kaki sampai dijuluki “Si Kaki
Telanjang”.
Abu Muhammad
Sahal bin Abdullah at-Tustari yang menjadi panutan sufi, juga tertera
hanya menikmati dunia secara naked-life
(ala kadarnya). Ia cuma makan roti. Bila sahur, At-Tustari hanya
memasak gandum tanpa garam maupun lauk-pauk.
Syahdan,
Asy-Syibli pernah membawa bara api. Ia berambisi membakar Baitullah
agar orang cuma mengabdi kepada Pemilik Ka’bah. Asy-Sybli
beritikad pula membakar surga serta neraka. Ia menghendaki tiap
manusia menyembah Allah, bukan lantaran diiming-imingi surga atau
neraka.
Asy-Syibli
tentu keliru sebagaimana pegiat tasawuf lainnya. Soalnya, ibadah
manusia senantiasa diperuntukkan kepada Allah. Tuhan sebagai
sesembahan prima lalu menganugerahkan surga. “Kemudian ia diberi
balasan berupa pahala paling sempurna” (an-Najm:
41).
Asy-Syibli
keliru. Rabiah al-Adawiyah pun salah paham. Rabiah sesumbar bahwa
ia siap dibakar di neraka jika ibadahnya hanya buat memperoleh surga.
Para nabi dan rasul saja tidak lancang mengucap kata-kata tantangan
untuk dibakar di neraka. Sementara sufi rupanya tak gentar.
Abu Husein
an-Nuri berkomentar bahwa kebatinan Islam berarti meninggalkan semua
keinginan hawa nafsu. Mohammad Iqbal mendeskripsikan kalau insan
sufi asyik-masyuk melakukan mikraj (zikir). Mereka terus-menerus
sambung-menyambung melakoni mikraj. Alhasil, salikin
tidak sudi lagi turun ke bumi guna menata kehidupan. Padahal,
manusia tertoreh sebagai khalifatun
fil ardh (pemimpin di dunia).
Zikir &
Pikir
Narasi
modernitas yang melahirkan materialisme serta absurditas tak bermakna
harus diimbangi dengan sufisme. Apalagi, tasawuf tidak memiliki
modal dalam menggapai kesejahteraan pada turbulensi globalisasi.
Pasalnya, paham tersebut mengabaikan karya olah-cipta otak dalam
kehidupan.
Status
mistik Islam yang anti-dunia menjadi bukti bila ajaran itu tak pantas
diaplikasikan dalam kehidupan. Sebab, sufisme identik dengan
kekakuan. Sedangkan planet ini mengalami dinamisasi di segala
bidang.
Manusia
merupakan penanggung jawab kelangsungan bumi. Dengan demikian,
semesta raya ini butuh Super Muslim yang mahir berzikir sembari
berpikir. Islam, umpamanya, tidak memerlukan whirling
dervishes alias tarian sema
(berputar). Sementara Jalaluddin Rumi berkoar: “Sema
is the food of the lover of God”.
Sema
atau tarian para Darwis tak dikenal dalam Islam.
Tasawuf
tidak dapat menjawab kegelisahan peradaban yang berada di tengah
infrastuktur kapitalisme mutakhir. Tarekat Islam justru menjadi
doktrin yang mencederai esensi Islam.
Risalah
Islam tak mengenal Islamic mysticism.
Sufisme bukan bagian Islam. Tasawuf tidak ditemukan dalam al-Quran
atau Hadis.
Pada
intinya, kebatinan Islam tak selaras dengan ajaran Nabi Muhammad.
Apalagi, sufisme bergelimang takhyul dan mistisisme. Arkian, pelaku
tasawuf mesti
divaksinasi karena berpotensi memecah-belah Islam.
“(Perilaku
musyrik antara lain seperti) orang yang memecah-belah agamanya.
Hingga, menjadi beberapa mazhab. Masing-masing merasa bangga dengan
ihwal yang ada pada golongannya” (ar-Rum:
32).
(Tribun Timur, Jumat, 2 Maret 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar