2

Kamis, 01 Maret 2012

Vaksinasi Bagi Pelaku Tasawuf


Vaksinasi Bagi Pelaku Tasawuf
Oleh Adrian Jourdan Muslim
Kritikus Ajaran Sesat Tasawuf

      Sejak tahun 90-an, gemuruh sufisme melanda umat muslim Indonesia. Kitab-kitab Islamic mysticism terbit seolah tanpa rihat. tasawuf di tengah kehidupan kapitalistik-liberalisme, ibarat spiritualisme abad ke 21. Gema sufisme dipandang sebagai basis buat menghayati makna kehidupan. Padahal, tarekat Islam sebetulnya salah persepsi mengenai akidah.
      Tasawuf yang dianggap lifestyle alternatif sesungguhnya berlumur kekeliruan. Sebab, metode sufisme banyak yang berseberangan dengan mandat Ilahi. Ada malahan wali atau mursyid (guru sufi) yang diibadahi. Jemaah suatu mazhab tidak segan melakukan praktik pemujaan terhadap mursyid. Guru sufi yang tak jelas asal-usulnya itu disucikan melebihi Muhammad, sang Maha Rasul.
      Selama ini, kebatinan Islam acap bersikap eksklusif, fanatik, intoleransi, liar, menentang kebenaran sekaligus pendukung kebatilan. Tasawuf juga berperilaku irasional seraya bersikap di luar kelaziman. Akibatnya, sufisme dinilai sebagai rantai dogma yang menyesatkan.
      Beberapa tokoh sufi ditengarai pula doyan menistai Islam. Ibnu Sab’in, rekan Ibnu Arabi berkata: “Muhammad terjebak di kandang kambing kala bersabda tidak ada lagi nabi sesudahnya”. Ibnu Sab’in yang tergiur menjadi nabi, sering bersemedi di Gua Hira. Ia berharap memperoleh ayat-ayat suci dari Jibril.
      Talmisani, seorang anggota kelompok Ibnu Arabi yang lain sempat mencela kitab suci. “Segenap isi al-Qur’an adalah syirik. Tauhid hanya ada pada golongan kami. Jika kamu ingin mencapai hakikat, maka, tinggalkan al-Qur’an, Hadis berikut ijma ulama”.
      Abu Hasan Ali bin Abdillah bin Jabbar as-Syazili, pendiri tarikat Syaziliyah, berkomentar: “Andai kalian mau mengajukan permohonan kepada Allah, sampaikanlah lewat Al-Ghazali”. Ia juga mengutarakan kepada kelompoknya kalau Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali mewariskan segudang ilmu kepada mereka. Padahal, masterpiece Al-Ghazali tersebut berbahaya sekali.
      Abu Bakar at-Thurthusi berfatwa: “Al-Ghazali menulis Ihya Ulumuddin dengan kedustaan kepada Rasulullah. Saya belum pernah melihat buku di muka bumi ini sepalsu Ihya Ulumuddin”.

Kelezatan Syahwat
      Tasawuf merupakan suatu wadah yang tak punya asas rasionalitas. Mistik Islam yang kadang didesain di gua-gua gulita nan sunyi di rimba belantara, bagai seonggok bualan minus saripati. Wali-wali sufi lantas bergentayangan dengan konsep heterodoks.
      Individu yang lemah secara materi, akal dan iman akhirnya tergiur dengan tarekat Islam. Maklum, mazhab bid’ah itu mengusung manifesto “credo quia absurdum” (saya meyakininya karena tidak jelas). Hatta, lahir partikel kesesatan semacam wihdat al-wujud atau fanai.
Sufisme yang bertolak belakang dengan elemen Islam, memusuhi pula kenikmatan dunia. Wujud asketis yang meninggalkan profanitas alias menyingkir dari hiruk-pikuk sosial, terlihat pada mayoritas salikin (komunitas asketisisme).
      Bisyir Abu Nasir bin al-Haris, contohnya, tercatat sebagai sufi tulen yang hidupnya cuma untuk kepentingan ibadah semata. Penampilannya mirip pengemis yang terlunta-lunta di lorong-lorong senyap kota Baghdad. Bisyir menolak seluruh kelezatan syahwat. Bahkan, tak hirau dengan jasmaninya. Ia ogah mengenakan alas kaki sampai dijuluki “Si Kaki Telanjang”.
      Abu Muhammad Sahal bin Abdullah at-Tustari yang menjadi panutan sufi, juga tertera hanya menikmati dunia secara naked-life (ala kadarnya). Ia cuma makan roti. Bila sahur, At-Tustari hanya memasak gandum tanpa garam maupun lauk-pauk.
      Syahdan, Asy-Syibli pernah membawa bara api. Ia berambisi membakar Baitullah agar orang cuma mengabdi kepada Pemilik Ka’bah. Asy-Sybli beritikad pula membakar surga serta neraka. Ia menghendaki tiap manusia menyembah Allah, bukan lantaran diiming-imingi surga atau neraka.
      Asy-Syibli tentu keliru sebagaimana pegiat tasawuf lainnya. Soalnya, ibadah manusia senantiasa diperuntukkan kepada Allah. Tuhan sebagai sesembahan prima lalu menganugerahkan surga. “Kemudian ia diberi balasan berupa pahala paling sempurna” (an-Najm: 41).
      Asy-Syibli keliru. Rabiah al-Adawiyah pun salah paham. Rabiah sesumbar bahwa ia siap dibakar di neraka jika ibadahnya hanya buat memperoleh surga. Para nabi dan rasul saja tidak lancang mengucap kata-kata tantangan untuk dibakar di neraka. Sementara sufi rupanya tak gentar.
      Abu Husein an-Nuri berkomentar bahwa kebatinan Islam berarti meninggalkan semua keinginan hawa nafsu. Mohammad Iqbal mendeskripsikan kalau insan sufi asyik-masyuk melakukan mikraj (zikir). Mereka terus-menerus sambung-menyambung melakoni mikraj. Alhasil, salikin tidak sudi lagi turun ke bumi guna menata kehidupan. Padahal, manusia tertoreh sebagai khalifatun fil ardh (pemimpin di dunia).

Zikir & Pikir
      Narasi modernitas yang melahirkan materialisme serta absurditas tak bermakna harus diimbangi dengan sufisme. Apalagi, tasawuf tidak memiliki modal dalam menggapai kesejahteraan pada turbulensi globalisasi. Pasalnya, paham tersebut mengabaikan karya olah-cipta otak dalam kehidupan.
      Status mistik Islam yang anti-dunia menjadi bukti bila ajaran itu tak pantas diaplikasikan dalam kehidupan. Sebab, sufisme identik dengan kekakuan. Sedangkan planet ini mengalami dinamisasi di segala bidang.
      Manusia merupakan penanggung jawab kelangsungan bumi. Dengan demikian, semesta raya ini butuh Super Muslim yang mahir berzikir sembari berpikir. Islam, umpamanya, tidak memerlukan whirling dervishes alias tarian sema (berputar). Sementara Jalaluddin Rumi berkoar: “Sema is the food of the lover of God”. Sema atau tarian para Darwis tak dikenal dalam Islam.
      Tasawuf tidak dapat menjawab kegelisahan peradaban yang berada di tengah infrastuktur kapitalisme mutakhir. Tarekat Islam justru menjadi doktrin yang mencederai esensi Islam.
      Risalah Islam tak mengenal Islamic mysticism. Sufisme bukan bagian Islam. Tasawuf tidak ditemukan dalam al-Quran atau Hadis.
      Pada intinya, kebatinan Islam tak selaras dengan ajaran Nabi Muhammad. Apalagi, sufisme bergelimang takhyul dan mistisisme. Arkian, pelaku tasawuf mesti divaksinasi karena berpotensi memecah-belah Islam.
      “(Perilaku musyrik antara lain seperti) orang yang memecah-belah agamanya. Hingga, menjadi beberapa mazhab. Masing-masing merasa bangga dengan ihwal yang ada pada golongannya” (ar-Rum: 32).

(Tribun Timur, Jumat, 2 Maret 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Wal-Mart.com USA, LLC

4

7

Wal-Mart.com USA, LLC
Wal-Mart.com USA, LLC
Wal-Mart.com USA, LLC
Wal-Mart.com USA, LLC