2

Minggu, 03 Juni 2012

Perspektif Pers Mahasiswa

Perspektif Pers Mahasiswa
Oleh Adrian Jourdan Muslim
Peminat Kajian Media

     “Reformasi gagal” merupakan saripati sesudah menyaksikan Indonesia di tarikh 2012. Reformasi yang digulirkan mahasiswa sukses mendongkel Soeharto seraya menolak dwifungsi ABRI. Selain itu, reformasi menghasilkan pengembangan otonomi daerah.
     14 tahun berlalu, ternyata reformasi belum mencapai puncak ekspektasi. Reformasi memang telah menentukan arah demokratisasi di Indonesia. Negeri ini begitu progresif dalam mengaplikasikan pengembangan demokrasi.
     Dalam dinamika politik kontemporer, spirit refomasi kehilangan kontrol atas kebijakan publik. Apalagi, negeri sarang koruptor ini banyak dihuni politisi busuk yang sekedar berpikir pragmatis. Orbaisme alias paham Orde Baru malahan turut memperparah keadaan. Akibatnya, oligarki politik Orde Baru menggurita di struktur kekuasaan.
     Kita muak dengan politik Orde Baru yang mengedepankan kekerasan. Di zaman Soeharto, penyelenggara negara tuli terhadap aspirasi rakyat maupun mahasiswa. Bahkan, korupsi, kolusi serta nepotisme marak dipraktekkan.
     Dewasa ini, kita mengharap ada golongan yang bisa membawa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berlabuh di stasiun sejahtera nan damai. Rakyat mendambakan demokrasi mesti finish sembari membawa keutuhan bangsa, keadilan dan kemakmuran rakyat.
     Aktivis penggerak reformasi 98 masih banyak yang lantang. Sebagian lainnya terlibat dalam pemerintahan. Hingga, merepotkan arah reformasi. Realitas tersebut menunjukkan bahwa aktivis reformasi yang masih suci harus bergandeng tangan dengan mahasiswa untuk menata ulang visi optimistis-progresif.
     Mahasiswa sukses menggulingkan rezim otoritarian Orde Baru. Kini, mahasiswa dituntut proaktif mengawal NKRI. Senjata mahasiswa yang ampuh untuk berjuang ialah pers mahasiswa. Media-media kampus menjadi hembusan nafas demi merestorasi NKRI. Pers mahasiswa dibutuhkan guna memicu suasana sekarang demi mencapai martabat serta peradaban.
     Ironis terasa lantaran ketika pers mahasiswa diperlukan, mereka rupanya kekurangan energi. Daya ledak pers mahasiswa makin lemah. Mereka acap menyelenggarakan diskusi. Sementara kinerjanya nihil.
     Pertemuan-pertemuan pers mahasiswa sesungguhnya laksana kata minus makna. Diskusi itu tidak membuahkan hasil. Tiada kebangkitan di kalangan kampus. Isu-isu strategis kalah oleh isu-isu aksesoris.
     “Mahasiswa penulis” malahan kian sulit muncul. Mahasiswa mungkin terlena oleh Facebook, Twitter, Google+, Instagram atau asyik-masyuk googling memelototi Miyabi Ozawa.
Pada periode ini, momentum bagi pers mahasiswa untuk bangkit. Penerbitan kampus mutlak menggerakkan paket-paket perubahan.

Sukma Lektura
     Di akhir tarikh 80-an, “mahasiswa penulis” didominasi Universitas Hasanuddin. Aspek tersebut dapat dimafhumi karena mahasiswa Unhas sangat banyak. Kala itu, nama semacam Mustam Arif, Shaifuddin Bahrum, Sapri Pamulu berikut Moch Hasymi bergantian menulis di Pedoman Rakyat.
     Menorehkan nama di surat kabar lokal kiranya tak cukup. Sastra Unhas lantas menerbitkan majalah Lektura pada Agustus 1990. Sejak itu, menjamur penerbitan dari fakultas lain di lingkungan Unhas. Channel 9 (Teknik), Ecotrend (Ekonomi), Yudika (Hukum), Sinovia (Kedokteran), Politzer (Fisipol) dan Muwahid (MPM).
     Lektura termasuk primadona. Majalah tersebut mempelopori penerbitan ofset dengan sampul full color. Media kampus yang sebelumnya hanya buletin stensilan, mendadak kuno begitu Lektura terbit secara trendy serta glossy. Isinya pun variatif. Lektura kokoh berkat ditopang Sukma Rasyid, Andi Ilham Paulangi, Nasru Alam Aziz bersama Rahmawaty Syukur. Kuartet ini merupakan sukma Lektura.
     Lektura tergolong eksklusif. Dialog antara pemimpin redaksi Lektura dengan wakil pemred sempat terdengar. Pemred meminta agar penulis opini di Lektura pernah menulis di dua harian yang terbit di Makassar. Setengah percaya bercampur geli, wakil pemred berseru sambil cekikikan: “Jadi untuk menulis di Lektura mesti menulis dulu di dua koran daerah?” Maklumat itu kemudian diberlakukan. Alhasil, seluruh artikel di Lektura diracik oleh penulis tangguh.
     Fenomena paling menonjol dari Lektura yakni sifat berani dan keras. Elemen tersebut yang membuat seorang rektor dari sebuah perguruan tinggi nyaris kasak-kusuk di pengadilan. Ia sebal dirinya diobok-obok. Untung saja semua berita Lektura bukan isapan jempol, bukan dusta atau sekedar cari sensasi.
     Sepak-terjang Lektura akhirnya wassalam dari ranah pers mahasiswa tatkala mengekspos laporan utama Golongan Putih. Reportase Lektura dinilai menghasut serta tendensius di masa Orde Baru. Pada Juli 1992, Departemen Penerangan Provinsi Sulawesi Selatan memberangus Lektura. Dengan demikian, Lektura termasuk sebuah pilar intelektual yang sempat melecehkan Orde Baru. Pembreidelan Lektura sebetulnya menambah energi buat menumbangkan rezim Orde Baru.

Voice of Adab
     Sebelum Lektura dirilis, sebuah buletin di Fakultas Adab UIN Alauddin terbit pada 1988. Namanya Voice of Adab. Buletin yang memiliki artikel inovatif itu rumit bertahan. Sebab, cuma difotokopi. Bila persediaan habis lalu ada yang berniat membeli, mendadak redaktur tergopoh-gopoh pergi memfotokopinya. Bayangkan kalau listrik mati, terpaksa peminatnya batal membeli. Uang yang sudah di tangan redaktur terpaksa dikembalikan lagi ke pembeli. “Daripada menunggu lebih baik pulang!”, umpat konsumen seraya bersungut-sungut karena lelah menanti. Voice of Adab akhirnya mati merana.
     Bagaimana sepatutnya pers mahasiswa supaya dikenang sejarah? Apakah harus mati secara ksatria sebagaimana Lektura yang dibreidel. Pilihan lain adalah tetap eksis kendati kembang-kempis laiknya Voice of Adab.
     Pers mahasiswa seyogianya fokus ke persoalan yang diangkat. Keberanian wajib dikedepankan. Tidak main kucing-kucingan dengan pihak fakultas gara-gara takut diberangus. Instrumen lain yaitu jangan jadi humas rektorat. Resep ini yang dipraktikkan Lektura selama tiga tahun. Lektura selalu fokus, berani sekaligus bukan corong pimpinan universitas.
     Dari pengamatan mengkaji pers mahasiswa, tersembul ihwal krusial yang mesti dilakukan pegiat pers mahasiswa. Tips dan trik guna memacu gairah penerbitan kampus mencakup dua faktor.
     Pertama, saat laporan utama digarap, maka, redaksi mesti meminta pula komentar sejumlah mahasiswa terkait isu yang diangkat. Komentar tersebut lantas disisipkan di akhir laporan utama lengkap dengan foto. Dengan demikian, cover story punya pijakan wacana di tengah mahasiswa. Efek positifnya, media kampus itu bakal dibeli. Maklum, komentar yang dipublikasikan membuat senang mahasiswa bersangkutan.
     Kedua, melibatkan Ketua Himpunan. Ketika mahasiswa baru tiba, jelas bukan ketua senat atau pemimpin redaksi yang berkuasa di sebuah jurusan. Kala itu, yang dipertuan agung tiada lain ketua himpunan. Arkian, untuk memuluskan distribusi media ke mahasiswa baru tentu ketua himpunan elok direkomendasikan sebagai redaktur khusus. Dampaknya jelas bahwa pangsa pasar langsung ada. Pemred bisa tersenyum lebar berkat dana edisi berikutnya telah tersedia.
     Kini, momentum bagi pers mahasiswa untuk kembali bangkit. Isu yang harus disambar ialah reformasi yang macet. Berlapis-lapis problem di seputar reformasi belum tuntas. Padahal, reformasi gigih diperjuangkan aktivis 98 demi memerdekakan Indonesia dari rezim Soeharto. Generasi 98 berhadapan langsung dengan aparat keamanan yang menembakkan peluru tajam. Sekarang, mahasiswa mesti melanjutkan perjuangan aktivis 98 dengan pena lewat pers mahasiswa.


(Cakrawala, Senin, 4 Juni 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Wal-Mart.com USA, LLC

4

7

Wal-Mart.com USA, LLC
Wal-Mart.com USA, LLC
Wal-Mart.com USA, LLC
Wal-Mart.com USA, LLC