Perspektif
Ekonomi Indonesia
Oleh
Adrian Jourdan Muslim
Peminat
Kajian Ekonomi
Ekonomi
Indonesia masih seret. Hempasan gelombang krisis masih
mengombang-ambingkan. Ekonomi bak layangan yang putus talinya.
Bahkan, memasuki labirin intrik.
Ekonomi
merana karena perlambatan pertumbuhan lantaran penurunan harga
komoditas internasional. Dampaknya lantas menjalar pada penurunan
kinerja ekspor serta investasi.
Efek global
yang menohok tiada lain pertumbuhan ekonomi dari sisi ekspor barang
dan jasa. Penurunan ekspor berimbas pada penciutan aktivitas ekonomi
masyarakat. Gejala itu mengakibatkan konsumsi domestik berkurang
serta pertumbuhan ekonomi terkoreksi. Kategori tersebut menimbulkan
konsekuensi lain. Sebab, terjadi penurunan inflasi gara-gara
permintaan global yang rendah. Di kala itu, harga komoditas di pasar
internasional turut terkoreksi.
Dalam
hitungan logika, Indonesia termasuk negeri paling kaya. Melihat
letak geografis berikut keadaan alamnya, mustahil di negeri ini ada
pengemis, gelandangan maupun orang melarat.
Indonesia
punya lahan pertanian dan perkebunan yang luasnya sejauh mata
memandang. Padi serta buah-buahan dapat mengenyangkan segenap
penduduk negeri ini. Kekayaan tak hanya di darat. Indonesia
memiliki pula laut yang teramat luas. Rupa-rupa jenis ikan tersedia.
Meski punya
lahan pertanian dan laut maha luas, namun, penduduk fakir justru
terhampar di mana-mana. Semua tertegun, bagaimana mungkin negeri
dengan kekayaan alam ini bisa semrawut.
Ada sejumlah
kendala terkait keterbelakangan ekonomi Indonesia. Dari beberapa
kendala yang mengemuka, ada dua paling pokok. Keduanya ialah mitos
serta korupsi.
Bertahun-tahun kita direcoki bahwa Indonesia adalah bangsa yang
besar. Kita selalu dicuci otak bahwa negeri ini tiada bandingnya.
Tengoklah sejarah. Di bentala ini pernah bercokol kerajaan Sriwijaya
dan Majapahit.
Mitos bahwa
Indonesia merupakan bangsa yang besar membuat kita terlena. Kita pun
menggampangkan masalah. Akibatnya, rasa malas merayap dalam aliran
darah. Hingga, bangsa ini terkulai dalam kebodohan.
Kita
membanggakan sejarah. Terbuai ilusi subyektif. Di lain pihak, bego
berdiplomasi. Candi Borobudur yang cantik justru tidak mampu
dinegosiasikan sebagai “Tujuh Keajaiban Dunia”.
Saya tak
memiliki keabsahan yang kokoh untuk curiga, tetapi, risau.
Jangan-jangan orang asing menuding Borobudur bukan karya asli
Indonesia. Arsiteknya barangkali dari India. Mandornya dari
Kerajaan Siam (Kamboja). Sedangkan kulinya Indonesia tulen. Wow…
10 New York
Mitos
membuat negeri ini terjebak dengan masa silam. Hasilnya yakni rasa
malas sekaligus kebodohan. Di sisi lain, perilaku malas diidap
rakyat Indonesia karena kondisi alam.
Orang Jepang
terlihat terburu-buru jika berjalan ke kantor. Di Belanda, orang
berbusana jas keren naik sepeda. Fenomena itu karena Jepang serta
Belanda mengenal musim dingin dan salju.
Di
Indonesia, tidak ada orang kantoran mau jalan terburu-buru ke kantor.
Soalnya, membuat badan berkeringat. Bila tiba di kantor, peluh yang
berceceran memaksa orang malas bergerak.
Di
Indonesia, orang kantoran ogah naik sepeda. Maklum, jalan tak
teratur serta macet. Sesampai di kantor, belum tentu ada AC.
Akibatnya, keringat yang berleleran membuat ritme kerja terganggu.
Suasana
kerja yang tidak mendukung akhirnya membuat bangsa ini menggampangkan
masalah. Jalan pintas senantiasa ditempuh. Mereka meminimalisasi
tenaga dengan memaksimalkan sogokan. Alhasil, korupsi mekar di
mana-mana.
Sikap
menggampangkan masalah membuat kita menyerahkan tambang emas di Papua
ke pihak asing. Andai anak negeri yang mengelola tambang emas
tersebut, niscaya telah 10 kota setara New York dibangun di Papua.
Pasalnya, bisik-bisik yang berhembus mewartakan bahwa Freeport
menangguk laba USD 500 miliar atau sekitar Rp 4000 triliun.
Ajaibnya, Indonesia memperoleh satu persen dari Rp 4000 triliun.
Ekonomi
Indonesia payah lantaran korupsi sudah tak terbendung. Pertumbuhan
ekonomi selalu dipengaruhi tingkat korupsi. Makin tinggi derajat
korupsi suatu negara, maka, kian rendah pertumbuhan ekonominya.
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) seolah berjalan di tempat. Ketua KPK
belum membuat gebrakan kecuali menciduk Angelina Sondakh. Nyaris tiada janji-janji muluk yang
dilontarkan berbuah kenyataan. Semua semu. Tidak ada harapan.
Lelah Ditipu
Seluruh
negara mandiri di dunia pasti andal mengelola pertanian.
Negara-negara Afrika sejak tahun 80-an sampai sekarang banyak yang
merana. Sebab, sisi pertanian atau ladang tak digarap optimal.
Mereka malahan sibuk dalam perang saudara. Tatkala bahan makanan
habis, berarti riwayat mereka ikut punah.
Tiongkok di
zaman kini menjadi motor penggerak ekonomi global. Soalnya,
pertanian masih diprioritaskan. Industri China tidak terusik berkat
pasokan makanan dalam negeri aman terkendali. Ketangguhan ekonomi
kemudian membuat China berinvestasi di Afrika, Amerika Selatan dan
Timor Leste.
Mitos serta
korupsi menjadi penghambat utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Mitos wajib dilawan dengan pendidikan. Anak-anak diasuh agar punya
visi, imajinasi dan fantasi. Di sisi lain, korupsi mutlak dilawan
dengan aturan tegas tanpa pandang bulu. Jangan cuma berani dengan
anak yang mencuri sepasang sandal atau nenek yang mencuri setandan
pisang. Coba kalau berani tangkap ketua partai sebelum gantung diri
di Monas.
Kita telah
capek dibodoh-bodohi pemerintah bahwa orang miskin tinggal 31 juta.
Kita sebal dibohongi bahwa jumlah pengangguran terbuka 11 juta orang.
Kenyataannya, warga yang tak leluasa makan dalam sehari makin
bertambah. Pengangguran kian membludak. Akibatnya, perampokan serta
pencurian marak di tiap RT/RW.
Jika mitos
dan korupsi tetap bergelora, niscaya Indonesia sulit keluar dari
belitan krisis finansial global. Apalagi, kondisi ekonomi serta
keuangan Amerika Serikat masih sakit. Sementara pemulihan ekonomi di
Eropa tetap lambat seperti langkah kura-kura.
Masih banyak
waktu untuk merestorasi perspektif ekonomi Indonesia. Apalagi, kita
masih memiliki nyali memekik lantang untuk “hidup bersama di Negara
Kesatuan Republik Indonesia”.
Tidak usah
menunggu wejangan dari langit ketujuh untuk mereparasi ekonomi. Kita
hanya butuh tekad guna memangkas mitos dan korupsi. Pasalnya, dua
unsur itu merupakan asas buruk dalam memacu upaya-upaya optimal.
Akibatnya, kita gagal menata ekonomi.
(Fajar, 3 Mei 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar